Coba jujur, berapa kali dalam seminggu kamu membuka profil media sosial seseorang—teman, mantan, gebetan, kolega, atau bahkan orang asing—dan menggulir jauh ke bawah melihat postingan-postingan lama mereka? Mungkin kamu melakukannya tanpa sadar, saat iseng, atau mungkin memang ada dorongan penasaran yang kuat. Kebiasaan ini, yang kita kenal dengan istilah 'nge-stalk' di media sosial, sudah jadi bagian tak terpisahkan dari interaksi digital kita.
Di tahun 2025 ini, dengan informasi yang melimpah ruah dan akses yang sangat mudah, budaya 'nge-stalk' ini makin merajalela. Ini bukan cuma soal penasaran biasa, lho. 'Nge-stalk' di media sosial bisa jadi kebiasaan diam-diam yang punya dampak besar, baik bagi si 'penguntit' maupun si 'diuntit'. Meskipun sering dianggap sepele atau sekadar iseng, di balik layar, perilaku ini bisa memicu berbagai konsekuensi psikologis, sosial, bahkan etis yang patut kita perhatikan.
Lalu, apa sebenarnya yang mendorong kita untuk 'nge-stalk'? Apakah ini cuma bagian dari sifat dasar manusia yang ingin tahu, atau ada faktor-faktor lain yang membuat kita terjebak dalam lingkaran ini? Apa saja bahaya tersembunyi yang mungkin tidak kita sadari, dan bagaimana kita bisa menyikapi kebiasaan ini secara lebih cerdas dan bertanggung jawab?
Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena 'nge-stalk' di media sosial di Indonesia. Kita akan menyelami mengapa kebiasaan ini begitu umum, dampaknya pada kesehatan mental dan hubungan, serta bagaimana kita bisa mengenali batas antara rasa ingin tahu yang sehat dan perilaku yang berlebihan. Ini bukan sekadar pembahasan tren, tapi panduan untuk memahami dinamika media sosial yang makin kompleks dan menjaga etika digital kita. Mari kita mulai!
Istilah 'nge-stalk' di media sosial mengacu pada tindakan menelusuri secara mendalam dan seringkali diam-diam profil, postingan, foto, atau aktivitas digital seseorang di platform media sosial, tanpa interaksi langsung atau persetujuan mereka. Ini bisa melibatkan:
Melihat Profil Secara Rutin: Mengunjungi profil seseorang berkali-kali dalam sehari atau seminggu.
Menggulir Jauh ke Bawah: Melihat postingan bertahun-tahun yang lalu.
Mengecek Aktivitas Lama: Memeriksa siapa yang mereka ikuti, siapa yang mengomentari postingan mereka, atau foto-foto di mana mereka di-tag.
Membandingkan Diri: Mencari tahu tentang kehidupan seseorang untuk membandingkan dengan diri sendiri.
Mencari Informasi Terselubung: Berusaha mencari tahu detail tentang kehidupan, hubungan, atau keberadaan seseorang.
Penting untuk membedakan antara rasa ingin tahu yang wajar (misalnya, melihat sekilas profil teman yang baru di-add) dengan 'nge-stalk' yang berlebihan. Batasnya ada pada intensitas, frekuensi, niat, dan dampaknya pada diri sendiri maupun orang lain.
Ada berbagai faktor psikologis dan sosial yang mendorong kita untuk melakukan 'nge-stalk':
Rasa Ingin Tahu Manusia: Secara alamiah, manusia itu makhluk yang ingin tahu. Kita tertarik pada kehidupan orang lain, terutama yang kita kenal atau yang punya daya tarik tertentu (selebriti, mantan, gebetan). Media sosial menyediakan jendela mudah untuk memuaskan rasa ingin tahu ini.
FOMO (Fear of Missing Out): Kita takut ketinggalan informasi atau update terbaru dari kehidupan orang lain. 'Nge-stalk' bisa jadi cara untuk merasa tetap 'terhubung' atau 'update' meskipun tidak ada interaksi langsung.
Perbandingan Sosial: Media sosial adalah platform perbandingan. Kita sering 'nge-stalk' profil orang lain (terutama yang terlihat sukses, bahagia, atau punya kehidupan menarik) untuk membandingkan dengan diri sendiri.
Kecemasan dan Ketidakamanan: Bagi sebagian orang, 'nge-stalk' adalah mekanisme koping terhadap kecemasan atau ketidakamanan. Misalnya, 'nge-stalk' mantan untuk melihat apakah mereka sudah bahagia dengan orang lain, atau 'nge-stalk' pesaing kerja untuk melihat performa mereka. Ini bisa memicu kecemasan lebih lanjut.
Fantasi dan Daydreaming: 'Nge-stalk' bisa jadi pintu gerbang ke dunia fantasi, terutama dalam konteks gebetan atau orang yang diidolakan. Kita membangun skenario atau cerita di kepala kita berdasarkan informasi yang ditemukan.
Mencari Informasi untuk Kepentingan Tertentu: Misalnya, rekruter yang 'nge-stalk' calon karyawan, atau seseorang yang mencari tahu informasi tentang kencan buta mereka.
Kebosanan: Saat tidak ada yang dilakukan, ponsel sering jadi pelarian, dan 'nge-stalk' jadi salah satu aktivitas yang paling mudah diakses.
Daya Tarik Konten Pribadi: Orang-orang cenderung memposting hal-hal yang personal dan menarik. Ini memancing orang lain untuk menelusurinya.
Algoritma Media Sosial: Algoritma seringkali merekomendasikan profil atau postingan yang terkait dengan minat atau interaksi kita sebelumnya, secara tidak langsung 'mengarahkan' kita untuk 'nge-stalk' lebih jauh.
Meskipun terasa 'aman' karena dilakukan diam-diam, 'nge-stalk' bisa punya dampak serius, baik bagi si 'penguntit' maupun si 'diuntit'.
Meningkatnya Kecemasan dan Depresi: Terus-menerus membandingkan diri dengan 'highlight reel' kehidupan orang lain bisa memicu rasa iri, insecure, tidak cukup, bahkan gejala depresi. Kamu melihat kebahagiaan mereka dan merasa sedih dengan dirimu sendiri.
Kelelahan Mental (Mental Fatigue): Aktivitas 'nge-stalk' yang berlebihan bisa sangat menguras energi kognitif. Otakmu terus memproses informasi, menganalisis, dan membandingkan, menyebabkan kelelahan mental.
Obsesi dan Rumination: Kebiasaan ini bisa berkembang menjadi obsesi, terutama jika terkait dengan mantan, gebetan, atau pesaing. Kamu jadi terus-menerus memikirkan mereka, sulit move on, dan terjebak dalam lingkaran pemikiran negatif.
Penurunan Self-Esteem (Harga Diri): Melihat kesuksesan orang lain tanpa melihat proses di baliknya bisa membuatmu merasa rendah diri dan tidak berharga.
Waktu Terbuang Sia-sia: Waktu yang dihabiskan untuk 'nge-stalk' bisa jadi sangat banyak, mengorbankan waktu untuk aktivitas yang lebih produktif atau bermakna di dunia nyata.
Kecanduan Digital: 'Nge-stalk' bisa jadi salah satu bentuk kecanduan media sosial, karena memicu pelepasan dopamin yang membuatmu ingin melakukannya lagi.
Kurangnya Kehadiran di Dunia Nyata: Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk mengamati orang lain di dunia maya bisa membuatmu kurang hadir dalam interaksi di dunia nyata.
Ketidaknyamanan dalam Interaksi Langsung: Kamu mungkin sudah tahu banyak hal tentang seseorang dari 'stalking', tapi di dunia nyata kamu harus berpura-pura tidak tahu. Ini bisa bikin canggung dan tidak tulus.
Membangun Ekspektasi Tidak Realistis: Kamu bisa membangun ekspektasi terhadap seseorang berdasarkan citra media sosial mereka, yang seringkali tidak akurat di dunia nyata. Ini bisa berujung pada kekecewaan.
Merusak Kepercayaan (Jika Ketahuan): Jika kebiasaan 'nge-stalk'mu yang berlebihan diketahui oleh orang yang kamu 'stalk', ini bisa merusak kepercayaan dan hubungan kalian. Mereka mungkin merasa dilanggar privasinya.
Perasaan Tidak Aman dan Dilanggar Privasinya: Jika seseorang mengetahui bahwa mereka sedang di-'stalk' secara berlebihan, ini bisa memicu perasaan tidak aman, tidak nyaman, dan privasi mereka merasa dilanggar.
Paranoia: Terus-menerus merasa diawasi bisa memicu paranoia atau kecemasan.
Fear of Expression: Mereka mungkin jadi takut untuk memposting hal-hal pribadi karena khawatir akan dianalisis atau dinilai.
Kasus Ekstrem (Stalking Kriminal): Meskipun jarang, dalam kasus yang sangat ekstrem, 'nge-stalk' digital bisa bereskalasi menjadi stalking di dunia nyata yang punya konsekuensi hukum serius dan membahayakan keselamatan.
Jelas sekali, 'nge-stalk' di media sosial bukanlah kebiasaan yang tidak berbahaya. Ia punya potensi untuk merusak kesehatan mental dan kualitas hubungan.
Di mana batasan antara rasa ingin tahu yang wajar dan perilaku 'nge-stalk' yang tidak sehat?
Rasa Ingin Tahu yang Sehat:
Melihat profil orang yang baru kamu kenal atau yang relevan.
Melihat postingan terbaru dari teman dekat atau keluarga.
Mencari informasi spesifik yang relevan (misal: mencari informasi kontak, melihat portofolio profesional).
Tidak memakan waktu terlalu lama.
Tidak memicu perasaan negatif (iri, cemas, obsesi) pada dirimu.
Niatnya adalah untuk koneksi atau informasi, bukan perbandingan/penghakiman.
'Nge-Stalk' yang Berlebihan/Tidak Sehat:
Menghabiskan waktu berjam-jam menelusuri profil seseorang (terutama mantan, gebetan yang tidak merespons, atau orang yang bikin kamu insecure).
Merasa terdorong untuk terus melihat profil tersebut meskipun itu membuatmu merasa buruk (iri, cemas, sedih).
Merasa tidak bisa berhenti, atau mengulanginya berkali-kali dalam sehari.
Mencari informasi yang terlalu personal atau rahasia yang tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik.
Menggunakan informasi yang didapat dari 'stalking' untuk tujuan manipulatif, menghakimi, atau menyebarkan gosip.
Mengganggu hidupmu di dunia nyata (jadi susah fokus kerja, susah tidur, mood buruk).
Mengenali batasan ini adalah langkah pertama untuk mengendalikan kebiasaan 'nge-stalk'mu.
Baik kamu sebagai pelaku 'nge-stalk' yang ingin berhenti, maupun sebagai individu yang ingin melindungi privasimu, ada strategi yang bisa kamu terapkan:
Kenali Pemicunya: Kapan kamu paling sering 'nge-stalk'? Saat bosan? Cemas? Setelah melihat postingan tertentu? Setelah berinteraksi dengan orang itu di dunia nyata? Mengetahui pemicu akan membantumu menghindarinya.
Batasi Waktu Layar: Gunakan fitur "Waktu Layar" (iPhone) atau "Digital Wellbeing" (Android) untuk membatasi durasi penggunaan aplikasi media sosial harian.
Jauhkan Ponsel: Saat kamu merasa bosan atau ada pemicu 'nge-stalk', segera jauhkan ponselmu. Ganti dengan aktivitas lain yang lebih sehat dan positif (baca buku, jalan-jalan, journaling, meditasi, nelpon teman).
Unfollow atau Mute Akun Pemicu: Jika ada akun tertentu (misalnya mantan atau orang yang sering membuatmu iri) yang selalu memicu keinginan 'nge-stalk' atau membuatmu merasa buruk, unfollow atau mute saja. Ini adalah tindakan self-care.
Fokus pada Konten yang Memberikan Nilai: Ubah kebiasaan scrolling impulsifmu menjadi scrolling dengan tujuan. Cari akun yang menginspirasi, mengedukasi, atau menghibur secara positif.
Praktikkan Mindfulness: Sadari keinginanmu untuk 'nge-stalk' saat itu muncul. Jangan langsung bertindak, tapi amati perasaan itu, lalu biarkan ia berlalu.
Isi Hidupmu di Dunia Nyata: Semakin kamu punya hidup yang kaya dan memuaskan di dunia nyata (hobi, koneksi sosial, tujuan pribadi), semakin kecil kebutuhanmu untuk 'nge-stalk' kehidupan orang lain.
Cari Bantuan Profesional (Jika Obsesif): Jika kebiasaan 'nge-stalk'mu sudah menjadi obsesif, sangat sulit dihentikan, dan berdampak serius pada kesehatan mentalmu, jangan ragu untuk mencari bantuan dari psikolog atau terapis.
Atur Akunmu Menjadi Privat: Ini adalah lapisan perlindungan paling dasar. Dengan akun privat, kamu punya kendali penuh atas siapa yang bisa melihat postinganmu.
Pilih Follower dengan Hati-hati: Jika akunmu privat, saring siapa saja yang kamu izinkan untuk mengikuti. Jangan asal approve permintaan follow dari orang yang tidak kamu kenal atau curigakan.
Jangan Overshare Informasi Pribadi: Hindari memposting informasi yang terlalu detail tentang lokasi _real-time_mu, jadwal harian, atau detail pribadi yang bisa disalahgunakan.
Manfaatkan Fitur Block dan Report: Jika ada akun yang kamu curigai melakukan stalking atau melecehkan, jangan ragu untuk memblokir dan melaporkannya ke platform.
Periksa Pengaturan Privasi Lokasi: Matikan fitur berbagi lokasi otomatis di ponselmu dan di aplikasi media sosial.
Hati-hati dengan Postingan Lama: Ingat, apa yang pernah kamu posting di masa lalu bisa saja ditemukan kembali. Lakukan audit pada postingan lama dan hapus yang tidak lagi relevan atau tidak kamu inginkan untuk dilihat publik.
Pikirkan Sebelum Posting: Sebelum memposting, tanyakan pada dirimu: "Apakah aku nyaman jika informasi ini dilihat oleh semua orang?"
Di tahun 2025 ini, budaya 'nge-stalk' di media sosial adalah fenomena yang tidak bisa kita abaikan. Ia adalah cerminan dari rasa ingin tahu alami manusia, dorongan untuk perbandingan sosial, dan kompleksitas interaksi digital kita. Namun, penting bagi kita untuk menyadari bahwa kebiasaan diam-diam ini punya dampak besar, baik pada kesehatan mental kita sendiri maupun pada privasi orang lain.
Mengelola kebiasaan 'nge-stalk' dan melindungi diri dari 'stalking' itu membutuhkan kesadaran diri dan batasan yang jelas. Ini tentang mengambil kembali kendali atas perhatianmu, memprioritaskan _well-being_mu, dan membangun etika digital yang bertanggung jawab.
Jangan biarkan dirimu terjebak dalam lingkaran perbandingan atau obsesi yang menguras energi. Mulailah hari ini dengan satu langkah kecil. Audit kebiasaan _scrolling_mu. Saring _feed_mu. Berinvestasilah pada aktivitas di dunia nyata yang benar-benar mengisi ulang dirimu. Karena pada akhirnya, ketenangan pikiran dan kualitas hubungan yang tulus adalah harta yang jauh lebih berharga daripada semua informasi yang bisa kamu dapatkan dari 'nge-stalk' di media sosial. Kamu pasti bisa menemukan cara hidup yang lebih sehat dan seimbang di era digital ini!
Image Source: Unsplash, Inc.