Di tahun 2025 ini, media sosial bukan cuma tempat buat pamer foto atau berbagi status. Ia sudah jadi panggung besar bagi para kreator, pebisnis, dan merek untuk menarik perhatian audiens. Setiap kali kita membuka platform seperti Instagram, TikTok, atau Threads, kita disuguhi jutaan konten yang bersaing merebut perhatian. Dari video yang menampilkan visual memukau dengan transisi halus, hingga curhatan jujur yang direkam seadanya di kamar tidur.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: mana yang sebenarnya lebih disukai audiens Indonesia? Konten yang estetik, rapi, dan sempurna secara visual, atau konten yang relatabel, jujur, dan terasa "gue banget"? Sebagian orang mungkin mati-matian membuat konten dengan kualitas produksi tinggi, editan profesional, dan pencahayaan sempurna. Sementara yang lain justru viral dengan video seadanya yang menceritakan pengalaman sehari-hari yang bikin orang ngakak atau terharu.
Memahami preferensi audiens Indonesia itu penting banget. Ini bukan cuma soal tren, tapi juga tentang bagaimana kamu bisa membangun koneksi yang lebih dalam, meningkatkan interaksi, dan akhirnya, mencapai tujuanmu di media sosial. Karena, kalau kamu salah fokus, semua usahamu dalam membuat konten bisa jadi sia-sia, alias nggak nyampe ke hati audiens.
Artikel ini akan mengupas tuntas perdebatan antara konten relatabel dan estetik di konteks audiens Indonesia. Kita akan menyelami mengapa kedua jenis konten ini punya daya tariknya masing-masing, faktor-faktor apa yang memengaruhi preferensi netizen lokal, dan yang terpenting, bagaimana kamu bisa menemukan keseimbangan yang pas untuk strategi kontenmu. Ini bukan sekadar panduan teknis, tapi resep ampuh untuk menaklukkan hati audiens di era digital ini. Mari kita mulai!
Konten estetik adalah jenis konten yang sangat mengutamakan kualitas visual dan audio, desain yang menarik, penyajian yang rapi, dan overall look yang indah atau profesional. Tujuannya adalah untuk memanjakan mata, memberikan kesan profesionalisme, dan seringkali menciptakan aspirasi.
Visual yang Memukau: Foto atau video dengan pencahayaan sempurna, komposisi artistik, warna yang konsisten (seringkali dengan tone tertentu), dan editing yang halus.
Kualitas Produksi Tinggi: Penggunaan kamera profesional, lighting studio, editing video yang kompleks, dan sound design yang berkualitas.
Rapi dan Terorganisir: Penataan objek yang presisi, layout yang teratur, dan tampilan yang clean.
Seringkali Berbasis Aspirasi: Menampilkan gaya hidup mewah, produk premium, tempat-tempat indah, atau pencapaian yang ingin dicapai banyak orang.
Fokus pada Kesempurnaan: Sedikit menunjukkan kekurangan atau sisi "mentah."
Memanjakan Mata: Otak manusia secara alami tertarik pada hal-hal yang indah dan rapi. Konten estetik memberikan pengalaman visual yang menyenangkan.
Membangun Kepercayaan dan Profesionalisme: Untuk merek atau individu, konten estetik bisa membangun citra profesional, berkualitas, dan kredibel. Ini penting untuk bisnis yang menjual produk atau layanan premium.
Aspirasi: Audiens seringkali terinspirasi oleh gaya hidup, produk, atau tempat yang terlihat sempurna. Mereka ingin menjadi bagian dari aspirasi itu.
Daya Tarik Awal: Visual yang bagus bisa jadi hook pertama yang membuat orang berhenti scrolling dan memperhatikan kontenmu.
Potensi Share Tinggi: Konten yang indah seringkali dibagikan karena dianggap layak untuk dilihat orang lain atau sebagai inspirasi.
Konten relatabel adalah jenis konten yang menyoroti pengalaman, emosi, atau situasi sehari-hari yang bisa dengan mudah diidentifikasi atau "aku banget" oleh audiens. Tujuannya adalah untuk membangun koneksi emosional, menunjukkan keaslian, dan memicu rasa kebersamaan.
Jujur dan Autentik: Seringkali direkam dengan gawai seadanya, tanpa editing berlebihan, dan menunjukkan sisi "mentah" atau tidak sempurna dari kehidupan.
Menyoroti Pengalaman Sehari-hari: Konflik kecil, pikiran acak, tantangan umum, atau momen lucu yang biasa terjadi dalam hidup.
Fokus pada Emosi: Memicu tawa, haru, simpati, atau rasa "ini aku banget!"
Bahasa yang Akrab: Menggunakan bahasa sehari-hari, slang lokal, atau gaya bicara yang santai dan akrab.
Pentingnya Narasi: Seringkali berupa cerita singkat atau situasi yang punya alur, meskipun sederhana.
Tidak Terlalu Peduli Estetika: Kualitas visual bisa jadi nomor dua, yang penting pesannya sampai dan relevan.
Membangun Koneksi Emosional Mendalam: Ketika audiens merasa "ini aku banget," mereka merasa dipahami, tidak sendirian, dan terhubung secara emosional dengan kreator.
Meningkatkan Interaksi: Konten relatabel memicu komentar yang banyak ("iya banget!", "sama kayak aku!"), share ke teman-teman, dan percakapan. Ini sangat disukai algoritma.
Meningkatkan Kepercayaan dan Keaslian: Audiens percaya pada kreator yang jujur dan apa adanya, tidak berpura-pura sempurna. Ini membangun loyalitas jangka panjang.
Pemicu Viralitas: Seringkali, video relatabel dengan produksi seadanya justru bisa viral karena pesan atau emosinya sangat kuat dan mudah menyebar.
Mengurangi Tekanan: Baik bagi kreator maupun audiens, konten relatabel menunjukkan bahwa hidup tidak harus sempurna, mengurangi tekanan untuk selalu tampil baik.
Sangat Memancing Percakapan: Konten ini jadi "pemantik" diskusi yang alami karena setiap orang punya pengalamannya sendiri tentang topik yang sama.
Netizen Indonesia itu unik. Mereka punya karakteristik yang membuat kedua jenis konten ini bisa sama-sama sukses, namun dengan tujuan dan dampak yang berbeda.
Dominasi Visual (Estetika): Indonesia adalah negara dengan pengguna Instagram dan TikTok yang masif, di mana visual menjadi sangat dominan. Konten estetik punya daya tarik awal yang kuat untuk stopping power (membuat orang berhenti scrolling). Orang Indonesia suka melihat hal yang indah, rapi, dan inspiratif. Ini berlaku untuk brand fesyen, kuliner, pariwisata, atau produk gaya hidup.
Kolektivisme dan Kebutuhan Koneksi (Relatabilitas): Di sisi lain, budaya kolektivisme yang kuat di Indonesia membuat kita sangat menghargai koneksi, kebersamaan, dan interaksi. Konten yang memicu empati, tawa bersama, atau rasa "ini aku banget" sangat dicintai. Netizen Indonesia juga sangat aktif berkomentar dan berbagi.
Jadi, mana yang lebih disukai?
Jawabannya adalah: keduanya punya tempatnya sendiri, dan seringkali, konten yang paling sukses adalah yang mampu menggabungkan elemen dari keduanya, atau fokus pada salah satunya sesuai tujuan.
Untuk jangkauan awal dan citra profesional: Konten estetik sangat penting. Ia menarik perhatian pertama, membangun kesan kredibilitas, dan membuat profilmu terlihat menarik.
Untuk interaksi mendalam, membangun komunitas, dan viralitas organik: Konten relatabel memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia memicu percakapan, share, dan koneksi emosional yang kuat.
Faktor Kunci untuk Audiens Indonesia:
Relatability Seringkali Mengalahkan Kesempurnaan: Netizen Indonesia cenderung lebih memaafkan kualitas visual yang tidak sempurna jika pesan atau emosi dalam kontennya sangat relatable. Sebuah video dengan kualitas rekaman ponsel yang menceritakan pengalaman lucu atau curhatan jujur seringkali lebih viral daripada video profesional tapi kaku.
Komentar adalah Raja: Konten yang memancing komentar (terutama yang panjang dan interaktif) adalah yang paling disukai algoritma dan netizen Indonesia. Konten relatabel sangat jago dalam hal ini.
Edukasi dan Solusi (dengan Sentuhan Relatabel/Estetik): Konten yang memberikan nilai (tips, trik, edukasi) seringkali sangat disukai. Kalau bisa disajikan secara estetik, bagus. Tapi kalau disajikan secara relatabel (misalnya, "tips anti-mager dari orang yang dulunya mageran"), itu akan lebih memancing interaksi.
"Orang Biasa" yang Jujur: Di tengah kejenuhan terhadap konten yang terlalu sempurna, audiens Indonesia mencari influencer atau kreator yang lebih "manusiawi" dan jujur, yang menunjukkan sisi tidak sempurna dari hidup.
Strategi terbaik di tahun 2025 adalah mencari keseimbangan yang pas antara konten estetik dan relatabel, atau setidaknya, tahu kapan harus memprioritaskan yang mana.
Untuk Brand atau Bisnis (Produk/Jasa):
Prioritaskan Estetika untuk Produk/Layanan: Untuk feed utama atau halaman produk, pertahankan visual yang estetik dan profesional. Ini membangun citra merek dan kredibilitas.
Sisipkan Relatability di Story atau Reels: Gunakan Story atau Reels untuk konten behind the scene, curhatan jujur (misalnya tentang tantangan bisnis), testimoni pelanggan yang relatable, atau life hacks yang relevan dengan produkmu. Ini bisa jadi jembatan untuk menunjukkan sisi manusiawi merekmu.
Gunakan Bahasa yang Akrab: Meskipun feed estetik, gunakan caption atau copywriting yang bahasanya akrab dan relatable dengan audiens Indonesia.
Konten Edukasi/Tips dengan Visual Menarik: Sajikan tips atau edukasi yang relatable dengan desain yang tetap menarik.
Untuk Kreator Konten atau Personal Brand:
Tentukan Persona Utama: Apakah kamu ingin dikenal sebagai kreator yang estetik (misal: fotografer travel, fashion blogger), atau relatabel (misal: komedian, storyteller, mental health advocate)?
Jika Persona Estetik: Fokus pada visual yang memukau. Namun, tetap sisipkan caption yang personal atau story yang menunjukkan sisi _relatable_mu. Jangan terlalu kaku.
Jika Persona Relatabel: Prioritaskan kejujuran, emosi, dan narasi yang kuat. Jangan terlalu khawatir dengan kualitas produksi yang sempurna. Fokus pada pesan. Namun, usahakan kualitas audio dan pencahayaan tidak terlalu buruk.
Manfaatkan Akun Kedua (Finsta/Spam Account): Jika kamu punya akun utama yang estetik, gunakan akun kedua sebagai ruang aman untuk konten yang super relatabel dan apa adanya, khusus untuk lingkaran terdekat.
Strategi Konten untuk Viralitas:
Video yang viral seringkali adalah perpaduan visual yang cukup menarik (tidak harus sempurna) dengan pesan atau emosi yang sangat relatable.
Fokus pada hook di awal, storytelling yang kuat, sound yang sedang tren, dan call-to-action yang memancing interaksi (comment, share, save).
Terlalu Fokus pada Estetika Sampai Lupa Relatability: Kontenmu mungkin indah, tapi kalau nggak ada yang bisa relate atau memicu emosi, ia akan jadi hambar dan tidak mendapatkan engagement.
Terlalu Mentah Sampai Tidak Profesional (untuk Bisnis): Meskipun relatability penting, bisnis tetap perlu menjaga standar profesionalisme tertentu. Jangan sampai konten terlalu acak-acakan sehingga merusak citra merek.
Meniru Tanpa Memahami Konteks: Melihat konten estetik atau relatabel lain viral, lalu meniru tanpa memahami mengapa itu berhasil atau apakah itu relevan dengan audiensmu.
Mengabaikan Kualitas Audio (untuk Konten Relatabel): Konten relatabel seringkali berupa voiceover atau obrolan. Pastikan audionya jelas, karena ini krusial.
Tidak Berinteraksi: Baik kontenmu estetik atau relatabel, interaksi adalah kuncinya. Balas komentar, ajukan pertanyaan, dan bangun komunitas.
Di tahun 2025 ini, audiens Indonesia di media sosial adalah konsumen konten yang cerdas dan kompleks. Mereka tidak hanya mencari keindahan visual, tetapi juga koneksi emosional yang tulus. Perdebatan antara konten estetik dan relatabel tidak memiliki satu pemenang mutlak; sebaliknya, keseimbangan adalah kunci utama untuk sukses.
Konten estetik berfungsi sebagai daya tarik awal, membangun citra profesional, dan memanjakan mata. Namun, konten relatabel adalah yang mampu menyentuh hati, memicu interaksi mendalam, membangun komunitas yang loyal, dan seringkali, menjadi pendorong utama viralitas.
Pebisnis dan kreator konten harus mampu memahami siapa audiens mereka, apa yang ingin mereka rasakan dan lihat, lalu menyesuaikan strategi konten mereka. Jangan takut untuk menunjukkan sisi manusiawi dari merek atau dirimu, bahkan jika itu berarti sedikit mengesampingkan kesempurnaan visual. Karena pada akhirnya, di tengah lautan konten yang serba indah, cerita jujur yang bisa bikin orang bilang "ini aku banget!" lah yang akan selalu diingat dan dirayakan oleh netizen Indonesia. Mari kita berkreasi dengan hati dan mata yang terbuka!
Image Source: Unsplash, Inc.