Pemerintah Indonesia makin gencar mendorong transformasi digital di segala lini. Tujuannya mulia: mempermudah masyarakat mengakses layanan publik. Dari pengurusan dokumen, pembayaran pajak, pendaftaran sekolah, hingga layanan kesehatan, semua kini diharapkan bisa diakses lewat aplikasi di ponsel atau website. Ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi.
Namun, coba jujur, berapa banyak dari kita yang merasa lancar jaya saat menggunakan aplikasi atau website pemerintah? Seringkali, pengalaman yang kita dapat justru sebaliknya: antarmuka yang membingungkan, alur yang tidak jelas, tombol yang tersembunyi, atau informasi yang sulit ditemukan. Bukannya mempermudah, aplikasi-aplikasi ini malah bikin kita frustrasi, buang-buang waktu, bahkan terpaksa kembali ke layanan manual.
Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, lho. Ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam desain UI/UX (User Interface/User Experience) di layanan publik digital. UI (User Interface) adalah tampilan visual aplikasi, sedangkan UX (User Experience) adalah keseluruhan pengalaman pengguna saat berinteraksi dengan aplikasi tersebut. Jika UI/UX buruk, sebagus apapun niat di baliknya, aplikasi akan sulit digunakan dan akhirnya ditinggalkan oleh masyarakat.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa banyak aplikasi pemerintah di Indonesia masih sulit digunakan dari perspektif UI/UX. Kita akan menyelami akar masalahnya, dampak negatif yang ditimbulkan, dan yang terpenting, solusi-solusi konkret yang bisa diterapkan pemerintah untuk menciptakan layanan publik digital yang benar-benar intuitif, mudah digunakan, dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Ini bukan sekadar kritik, tapi ajakan untuk membangun ekosistem digital publik yang lebih baik. Mari kita mulai!
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap transformasi digital. Berbagai kementerian dan lembaga meluncurkan aplikasi dan platform digital baru. Harapannya, masyarakat bisa mengurus segala hal dari rumah, antrean berkurang, dan birokrasi jadi lebih efisien.
Namun, di lapangan, realitanya belum sepenuhnya mulus. Banyak pengguna yang mengeluhkan pengalaman tidak menyenangkan:
"Sudah download aplikasinya, tapi bingung mau klik mana."
"Desainnya kok kayak web tahun 90-an ya?"
"Error terus, akhirnya harus datang ke kantor dinas juga."
"Untuk satu layanan saja, kok harus download banyak aplikasi berbeda?"
"Bahasa yang digunakan terlalu birokratis, nggak ngerti."
Keluhan-keluhan ini langsung mengarah pada satu akar masalah: kualitas UI/UX yang kurang memadai.
Mengapa aplikasi pemerintah seringkali punya masalah UI/UX? Ada beberapa faktor kompleks yang berkontribusi:
Asumsi, Bukan Riset: Seringkali, aplikasi dikembangkan berdasarkan asumsi internal tim pembuat atau keinginan birokrasi, bukan dari riset mendalam tentang kebutuhan, kebiasaan, dan kesulitan pengguna sebenarnya di lapangan.
Target Audiens yang Beragam: Pengguna layanan publik itu sangat beragam, dari generasi Z yang sangat melek digital, hingga lansia yang mungkin baru belajar pakai smartphone. Mendesain untuk semua segmen ini butuh pemahaman luar biasa.
Tidak Melibatkan Pengguna dalam Proses Desain: Desain yang baik melibatkan pengguna sejak awal (riset, prototyping, uji coba). Jika proses ini diabaikan, hasilnya akan jadi aplikasi yang "bagus di atas kertas" tapi sulit digunakan di dunia nyata.
"Asal Jalan Saja": Prioritas utama seringkali adalah membuat aplikasi berfungsi secara teknis (bisa menyimpan data, bisa memproses ini-itu), tanpa memikirkan seberapa mudah atau menyenangkan pengguna berinteraksi dengannya.
Kesenjangan Antara Pengembang dan Pengguna: Tim pengembang mungkin sangat menguasai aspek teknis, tapi kurang punya empati atau pemahaman tentang perilaku pengguna non-teknis.
Anggaran Terbatas: Pengembangan aplikasi dengan UI/UX yang baik membutuhkan investasi signifikan dalam hal riset, desain, pengujian, dan SDM yang berkualitas. Anggaran pemerintah mungkin tidak selalu memadai untuk ini.
Kurangnya SDM Berpengalaman di Bidang UI/UX: Tenaga ahli UI/UX yang berkualitas masih terbatas, dan mungkin belum banyak yang tertarik bekerja di sektor publik.
Proses Tender yang Kaku: Proses pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali kaku dan berorientasi pada harga terendah, bukan pada kualitas desain atau pengalaman pengguna.
Struktur Hierarkis: Proses persetujuan yang panjang dan berlapis bisa menghambat inovasi dan fleksibilitas dalam desain. Perubahan kecil pun butuh waktu lama.
"Not Invented Here" Syndrome: Cenderung mengembangkan aplikasi dari nol (walaupun ada solusi yang sudah ada) atau tidak mau belajar dari praktik terbaik di luar.
Tumpang Tindih Kewenangan: Untuk satu jenis layanan, bisa jadi ada beberapa aplikasi dari lembaga berbeda yang fungsinya tumpang tindih, membingungkan masyarakat.
"Sekali Jadi": Aplikasi seringkali dianggap "selesai" setelah diluncurkan. Padahal, UI/UX yang baik membutuhkan pembaruan, perbaikan, dan adaptasi berkelanjutan berdasarkan umpan balik pengguna.
Minimnya Saluran Umpan Balik Pengguna: Kalaupun ada, saluran umpan balik (kritik, saran) seringkali tidak efektif atau tidak ditindaklanjuti.
Desain seringkali diprioritaskan untuk memenuhi regulasi atau persyaratan administrasi, bukan untuk kenyamanan pengguna.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum atau birokrasi, bukan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami.
Kualitas UI/UX yang buruk tidak hanya membuat frustrasi, tapi punya dampak negatif yang luas:
Rendahnya Adopsi dan Penggunaan Aplikasi: Masyarakat enggan menggunakan aplikasi yang sulit, sehingga tujuan transformasi digital tidak tercapai. Mereka akan kembali ke cara manual.
Penurunan Kepercayaan Publik: Aplikasi yang sering eror atau sulit digunakan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap program digital pemerintah.
Inefisiensi dan Pemborosan Anggaran: Anggaran besar yang sudah dikeluarkan untuk pengembangan aplikasi jadi sia-sia karena tidak banyak digunakan.
Frustrasi dan Stres Masyarakat: Mengurus layanan publik seharusnya mempermudah, bukan malah menambah beban psikologis masyarakat.
Memperlebar Kesenjangan Digital: Bagi kelompok masyarakat dengan literasi digital rendah, aplikasi yang sulit digunakan justru bisa memperlebar jurang pemisah, bukan menjembataninya.
Peluang Penipuan: Aplikasi yang tidak jelas atau sering eror bisa dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.
Citra Negatif Pemerintah: UI/UX yang buruk bisa memberi kesan pemerintah tidak modern, tidak efisien, atau tidak peduli pada pengalaman warga.
Maka, perbaikan UI/UX bukan lagi pilihan, tapi keharusan mendesak.
Transformasi digital yang sesungguhnya dimulai dari pengalaman pengguna. Ini dia resep ampuh solusi yang bisa diterapkan pemerintah untuk memperbaiki UI/UX di layanan publik digital:
Ini adalah filosofi dasar. Desain harus dimulai dan diakhiri dengan pengguna.
Riset Pengguna Mendalam: Lakukan riset menyeluruh untuk memahami siapa target pengguna (usia, latar belakang, tingkat literasi digital), apa kebutuhan mereka, masalah yang mereka hadapi, dan bagaimana kebiasaan mereka. Lakukan wawancara, survei, dan observasi.
Melibatkan Pengguna dalam Setiap Tahap: Libatkan pengguna di setiap tahap pengembangan:
Ideasi: Kumpulkan masukan tentang fitur yang dibutuhkan.
Prototyping dan Uji Coba (Usability Testing): Buat prototipe sederhana, lalu minta pengguna mencoba dan berikan feedback. Identifikasi kesulitan di awal, sebelum aplikasi jadi.
Beta Testing: Libatkan kelompok pengguna beta sebelum peluncuran resmi.
Desain untuk Inklusivitas: Pertimbangkan kebutuhan pengguna berkebutuhan khusus (misal: ukuran font yang bisa disesuaikan, text-to-speech, color contrast).
"Less is more" seringkali berlaku di sini.
Fokus pada Satu Tujuan Utama per Aplikasi (jika memungkinkan): Hindari aplikasi yang terlalu banyak fitur sampai membingungkan. Jika ada banyak layanan, pertimbangkan platform induk dengan modul-modul terpisah.
Alur Pengguna yang Intuitif: Buat alur penggunaan sesederhana mungkin. Setiap langkah harus logis dan mudah dipahami. Kurangi jumlah klik yang tidak perlu.
Desain Antarmuka (UI) yang Bersih dan Konsisten:
Gunakan warna yang nyaman di mata, ikon yang jelas, dan tata letak yang rapi.
Terapkan pedoman desain yang konsisten di semua aplikasi atau platform pemerintah agar pengguna tidak perlu belajar ulang.
Gunakan font yang mudah dibaca.
Bahasa yang Jelas dan Mudah Dipahami: Hindari jargon birokratis atau bahasa hukum. Gunakan bahasa sehari-hari yang familiar bagi masyarakat umum.
Panduan Penggunaan yang Visual: Sediakan panduan singkat berupa video tutorial atau infografis yang mudah diakses di dalam aplikasi itu sendiri.
Investasi di UI/UX itu investasi jangka panjang.
Anggaran yang Cukup: Alokasikan anggaran yang memadai untuk riset pengguna, desain UX, dan pengujian kualitas. Ini bukan biaya, tapi investasi.
Rekrut atau Latih SDM UI/UX Profesional: Tarik talenta UI/UX terbaik atau berinvestasi dalam pelatihan SDM internal. Jalin kemitraan dengan universitas atau komunitas desain.
Libatkan Konsultan UI/UX Eksternal: Jika kapasitas internal terbatas, bekerja sama dengan konsultan UI/UX profesional dapat membawa perspektif dan keahlian baru.
Jangan "sekali jadi." Desain itu terus berkembang.
Metode Pengembangan Agile: Gunakan metode pengembangan agile yang memungkinkan fleksibilitas, perbaikan cepat, dan adaptasi berdasarkan feedback pengguna.
Pembaruan Berkala: Setelah diluncurkan, terus pantau penggunaan, kumpulkan feedback (melalui survei dalam aplikasi, kolom saran, atau media sosial), dan luncurkan pembaruan rutin untuk perbaikan dan penambahan fitur.
A/B Testing: Lakukan A/B testing untuk fitur-fitur baru atau perubahan desain untuk melihat mana yang lebih efektif di mata pengguna.
Hindari fragmentasi yang membingungkan masyarakat.
Platform Terpadu: Pertimbangkan untuk mengintegrasikan berbagai layanan pemerintah ke dalam satu super-app atau platform induk (misalnya, seperti konsep Satu Data Indonesia atau mobile government gateway). Ini mengurangi kebutuhan masyarakat untuk mengunduh banyak aplikasi berbeda.
Standardisasi Identitas Digital: Mendorong penggunaan identitas digital terintegrasi (misal: NIK sebagai single sign-on) untuk semua layanan pemerintah, agar pengguna tidak perlu mendaftar berulang kali.
Desain Sistematis: Kembangkan pedoman desain (Design System) yang konsisten untuk semua aplikasi pemerintah, memastikan tampilan dan pengalaman yang seragam.
Audiens ingin merasa didengar.
Saluran Umpan Balik yang Jelas: Sediakan tombol feedback atau survei kepuasan pelanggan di dalam aplikasi. Pastikan umpan balik ini benar-benar ditindaklanjuti.
Transparansi Perbaikan: Komunikasikan kepada masyarakat bahwa feedback mereka didengar dan ada perbaikan yang sedang dilakukan.
Di tahun ini, di tengah komitmen kuat pemerintah Indonesia terhadap transformasi digital, kualitas UI/UX adalah kunci utama yang akan menentukan keberhasilan layanan publik digital. Aplikasi atau platform yang sulit digunakan tidak hanya akan membuat frustrasi masyarakat, tapi juga menghambat tujuan besar digitalisasi.
Masalah UI/UX di aplikasi pemerintah seringkali berakar pada kurangnya pemahaman mendalam tentang pengguna, fokus berlebihan pada fungsionalitas teknis, serta keterbatasan sumber daya dan birokrasi. Namun, semua tantangan ini bisa diatasi.
Dengan menerapkan prinsip desain berpusat pada pengguna, menyederhanakan alur dan antarmuka, mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk SDM UI/UX, menerapkan proses pengembangan agile, dan mengintegrasikan layanan, pemerintah dapat menciptakan ekosistem digital publik yang benar-benar intuitif dan bermanfaat.
Ini bukan sekadar soal estetika visual, tapi tentang mempermudah hidup masyarakat, meningkatkan kepercayaan publik, dan membangun citra pemerintah yang modern serta responsif. Mari kita bersama-sama mendorong perbaikan UI/UX di layanan publik digital agar transformasi digital di Indonesia benar-benar membawa manfaat maksimal bagi semua. Anda pasti bisa jadi bagian dari perubahan ini!
Image Source: Unsplash, Inc.